Rabu, 26 Desember 2012
Minggu, 23 Desember 2012
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF VYGOTSKY
08.44
No comments
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF VYGOTSKY
A. PENGANTAR
Perkembangan kognitif dan
bahasa anak-anak tidak berkembang dalam suatu situasi sosial yang hampa. Lev
Vygotsky (1896-1934), seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin
penting tentang pikiran anak ini lebih dari setengah abad yang lalu. Teori
Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget,
Vygotsky menulis di Uni Soviet selama 1920-an dan 1930-an. Namun, karyanya baru
dipublikasikan di dunia Barat pada tahun 1960-an. Sejak saat itulah,
tulisan-tulisannya menjadi sangat berpengaruh. Vygotsky adalah pengagum Piaget.
Walaupun setuju dengan Piaget bahwa perkembangan kognitif terjadi secara
bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, tetapi Vygotsky
tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian
dan membentuk gambaran realitas batinnya sendiri.
B. KONSEP
SOSIOKULTURAL
Banyak developmentalis yang
bekerja di bidang kebudayaan dan pembangunan menemukan dirinya sepaham dengan
Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan sosial budaya. Teori Vygotsky
menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan
bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan
penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti
bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Ia juga menekankan bagaimana
anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah
terampil di dalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran
kebudayaan dan masyarakat di dalam perkembangan kognitif berbeda dengan
gambaran Piaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian.
Piaget memandang anak-anak
sebagai pembelajaran lewat penemuan individual, sedangkan Vygotsky lebih banyak
menekankan peranan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan
perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental
yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan
perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi
seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang
lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup
dan alat-alat itu berasal dari budaya. Alat-alat itu diwariskan pada
anak-anak oleh anggota-anggota kebudayaan yang lebih tua selama
pengalaman pembelajaran yang dipandu. Pengalaman dengan orang lain secara
berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang
dunia. Karena itulah berpikir setiap anak dengan cara yang sama dengan anggota
lain dalam kebudayaannya.
Vygotsky menekankan baik
level konteks sosial yang bersifat institusional maupun level konteks sosial
yang bersifat interpersonal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan
menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif
melalui institusi seperti sekolah, penemuan seperti komputer, dan melek huruf.
Interaksi institusional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan
sosial yang luas untuk membimbing hidupnya. Level interpersonal memiliki suatu
pengaruh yang lebih langsung pada keberfungsian mental anak. Menurut vygotsky
(1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui
interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat,
keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif
dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar
belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang.
C. PERKEMBANGAN
BAHASA
Para pakar perilaku memandang
bahasa sama seperti perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan, atau berlari.
Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya merupakan urutan respons (Skinner,1957)
atau sebuah imitasi (Bandura, 1977). Tetapi banyak diantara kalimat yang kita
hasilkan adalah baru, kita tidak mendengarnya atau membicarakannya sebelumnya.
Kita tidak mempelajari
bahasa di dalam suatu ”ruang hampa sosial” (social vacuum). Kebanyakan
anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Kita memerlukan
pengenalan kepada bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa
yang baik (Adamson,1992; Schegloff,1989). Dewasa ini, kebanyakan peneliti
penguasaan bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks sosial yang luas
menguasai bahasa ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus dan dalam beberapa
kasus tanpa penguatan yang jelas ( Rice,1993). Dengan demikian aspek yang
penting dalam mempelajari suatu bahasa tampaknya tidaklah banyak. Walaupun
begitu, proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan
keterlibatan dari pengasuh dan guru. Suatu peran lingkungan yang membangkitkan
rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak kecil disebut motherese,
yakni cara ibu dan orang dewasa sering berbicara pada bayi dengan frekuensi dan
hubungan yang lebih luas dari pada normal, dan dengan kalimat-kalimat yang
sederhana.
Bahasa dipahami dalam suatu
urutan tertentu. Pada setiap tahap di dalam tahap perkembangan, interaksi
linguistik anak dengan orang tua dan orang lain pada dasarnya mengikuti suatu
prinsip tertentu ( Conti-Ramsden & Snow, 1991; Maratsos, 1991).
Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja sangat dipengaruhi oleh
kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini
jauh lebih penting dibandingkan dengan apa yang diperkirakan di masa lalu ( Von
Tetzchner & Siegel, 1989).
Vygotsky lebih banyak
menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif daripada Piaget. Bagi Piaget,
bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup
maju. Pengalaman berbahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif
saat itu. Namun, bagi Vygotsky, bahasa berkembang dari interaksi sosial dengan
orang lain. Awalnya, satu-satunya fungsi bahasa adalah komunikasi. Bahasa dan
pemikiran berkembang sendiri, tetapi selanjutnya anak mendalami bahasa dan
belajar menggunakannya sebagai alat untuk membantu memecahkan masalah. Dalam
tahap praoperasional, ketika anak belajar menggunakan bahasa untuk
menyelesaikan masalah, mereka berbicara lantang sembari menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, begitu menginjak tahap operasional konkret, percakapan batiniah
tidak terdengar lagi.
D. ZONE
PERKEMBANGAN PROKSIMAL (ZPD)
Meskipun pada akhirnya
anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman
sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika
berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan
pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Pada satu sisi, Piaget
menjelaskan proses perkembangan kognitif sejalan dengan kemajuan anak-anak, dan
dia menggambarkan bahwa anak-anak mampu melakukan sesuatu sendiri.
Pada sisi lain, Vygotsky mencari pengertian bagaiman anak-anak berkembang
dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang,
tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual
development dan potensial development pada anak. Aktual development ditentukan
apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau
guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat
melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau
kerjasama dengan teman sebaya.
Menurut teori Vygotsky, Zona
Perkembangan Proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial
development, dimana antara apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa
bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu dengan
arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
Maksud dari ZPD adalah
menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan
anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di sekolah sendiri, perkembangan
mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk memaksimalkan perkembangan,
siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih terampil yang dapat memimpin
secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui
perubahan yang berturut-turut dalam berbicara dan bersikap, siswa mendiskusikan
pengertian barunya dengan temannya kemudian mencocokkan dan mendalami kemudian
menggunakannya. Sebuah konsekuensi pada proses ini adalah bahwa siswa belajar
untuk pengaturan sendiri (self-regulasi).
E. KONSEP
SCAFFOLDING
Scaffolding merupakan suatu
istilah yang ditemukan oleh seorang ahli psikologi perkembangan-kognitif masa
kini, Jerome Bruner, yakni suatu proses yang digunakan orang dewasa untuk
menuntun anak-anak melalui zona perkembangan proksimalnya.
Pengaruh karya Vygotsky dan
Bruner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh Smith et al. (1998).
1. Walaupun
Vygotsky dan Bruner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang
dewasa dalam pembelajaran anak-anak daripad peran yang diusulkan Piaget,
keduanya tidak mendukung pengajaran didaktis diganti sepenuhnya. Sebaliknya
mereka malah menyatakan, walaupun anak tetap dilibatkan dalam pembelajaran
aktif, guru harus secara aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam
istilah teoritis, ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan
proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak selama
melalui ZPD.
2. Secara
khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga
berpengaruh penting pada perkembangan kognitif anak.berlawanan dengan
pembelajaran lewat penemuan individu (individual discovery learning), kerja
kelompok secara kooperatif ( cooperative groupwork) tampaknya mempercepat
perkembangan anak.
3. Gagasan
tentang kelompok kerja kreatif ini diperluasa menjadi pengajaran pribadi oleh
teman sebaya ( peer tutoring), yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang
agak tertinggal dalam pelajaran. Foot et al. (1990) menjelaskan keberhasilan
pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori Vygotsky. Satu anak
bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri
baru saja melewati tahap itu sehingga bis adengan mudah melihat
kesulitan-kesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang
sesuai.
Komputer juga dapat
digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dari perspektif
pengikut Vygotsky-Bruner, perintah-perintah di layar komputer merupakan
scaffolding ( Crook, 1994). Ketika anak menggunakan perangkat lunak (software)
pendidikan, komputer memberikan bantuan atau petunjuk secara detail seperti
yang diisyaratkan sesuai dengan kedudukan anak yang sedang dalam ZPD. Tak pelak
lagi, beberapa anak di kelas lebih terampil dalam menggunakan komputer sehingga
bisa berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang
bekerja dengan komputer, guru bisa dengan bebas mencurahkan perhatinnya kepada
individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan scaffolding yang
sesuai bagi masing-masing anak.
F. KONSTRUKTIVISME
Pendekatan konstruktivisme
pada pendidikan berusaha merubah pendidikan dari dominasi guru menjadi
pemusatan pada siswa. Peranan guru adalah membantu siswa mengembangkan
pengertian baru. Siswa diajarkan bagaimana mengasimilasi pengalamn,
pengetahuan, dan pengertiannya dan apakah mereka siap untuk tahu dari
pembentukan pengertian baru ini. Pada bagian ini, kita melihat permulaan aliran
konstruktivisme , peranan pengalaman siswa dalam belajar dan bagaiman dapat
mengasimilasi pengertiannya.
Konstruktivisme adalah suatu
teori belajar yang mempunyai suatu pedoman dalam filosofi dan antropologi
sebaik psikologi. Pedoman filosofi pada teori ni ditemukan pada abad ke-5
sebelum masehi. Ketika Socrates memajukan pemikiran dari level sophist oleh
metode perkembangan sistematis yang ditemukan melalui gabungan antara
pertanyaan dan alasan logika. Metode baru ini yang mengkontribusi secara
besar-besaran untuk memajukan aspek pemecahan masalah aliran konstruktivisme.
Penyelidikan atau pengalaman
fisik, pengalaman pendidikan adalah kunci metode konstruktivisme. Selama abad
ke-18 dan ke-17, filosof Inggris ” Frances Bacon” memberikan ilmu metode untuk
menyelidiki lingkungan.
Pendukung konstruktivisme
percaya bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita akan mengikat informasi yang
kita peroleh dari pengalaman ini ke dalam pengertian sebelumnya, membentuk
pengertian baru. Dengan kata lain, pada proses belajar masing-masing pelajar harus
mengkreasikan pengetahuannya. Pada konstruktivis, kegiatan mengajar adalah
proses membantu pelajar-pelajar mengkreasikan pengetahuannya. Konstruktivisme
percaya bahwa pengetahuan tidak hanya kegiatan penemuan yang memungkinkan untuk
dimengerti, tetapi pengetahuan merupakan cara suatu informasi baru berinteraksi
dengan pengertian sebelumnya dari pelajar.
Para konstruktivisme
menekankan peranan motivasi guru untuk membantu siswa belajar mencintai
pelajaran. Tidak seprti behaviorist, yang menggunakan sangsi berupa reward,
sedangkan konstruktivisme percaya bahwa motivasi internal, seperti kesenangan
pada pelajaran lebih kuat daripada reward eksternal.
Konstruktivisme yang
mempunyai pengaruh besar pada tahun 1930 yang bekerja sebagai ahli Psikologi
Rusia adalah L.S. Vygotsky, yang sangat tertarik pada efek interaksi siswa
dengan teman sekelas pada pelajaran. Jaramillo (1996) menjelaskan, Vygotsky
mencatat bahwa interaksi individu dengan orang lain berlangsung pada situasi
sosial. Vygotsky percaya bahwa subyek yang dipelajari berpengaruh pada proses
belajar, dan mengakui bahwa tiap-tiap disiplin ilmu mempunyai metode
pembelajaran tersendiri. Vygotsky adalah seorang guru yang tertarik untuk
mendesign kurikulum sebagai fasilitas dalam interaksi siswa.
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF JEAN PIAGET
08.23
No comments
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan
oleh Jean
Piaget, seorang psikolog Swiss
yang hidup tahun 1896-1980. Teorinyamemberikan
banyak konsep utama dalam lapangan psikologi
perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsepkecerdasan, yang bagi
Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan
melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema
tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan
perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara
mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti,
tidak seperti teori nativisme (yang
menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan
kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan
kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan
sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget
memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk
memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan
semakin canggih seiring pertambahan usia:
§ Periode sensorimotor
(usia 0–2 tahun)
§ Periode
praoperasional (usia 2–7 tahun)
§ Periode
operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
§ Periode
operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)
PERIODE
SENSORIMOTOR
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan
selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk
melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat
periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan
dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1.
Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir
sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer,
dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan
munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder,
muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan
koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4.
Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder,
muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan
untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda
kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier,
muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama
dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6.
Sub-tahapan awal representasi simbolik,
berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
TAHAPAN
PRAOPERASIONAL
Tahapan ini merupakan tahapan kedua
dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan
bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari
fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam
teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap
objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara
logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan
dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih
bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang
lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan
semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan
pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai
enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya.
Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar.
Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di
permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat
memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama
lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya.
Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain
semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan
menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
TAHAPAN
OPERASIONAL KONKRIT
Tahapan ini adalah tahapan ketiga
dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai
ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting
selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek
menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda
ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling
kecil.
Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan
mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat
menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan
bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering—anak mulai mempertimbangkan beberapa
aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak
tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya
dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility—anak mulai memahami bahwa jumlah
atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu,
anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama
dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi—memahami bahwa kuantitas, panjang,
atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau
tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi
cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan
sifat Egosentrisme—kemampuan
untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang
memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan,
kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti
kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa
boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
TAHAPAN
OPERASIONAL FORMAL
Tahap operasional formal adalah
periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai
dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa.
Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara
abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang
tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta,
bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk
hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat
dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat
terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa
secara fisiologis, kognitif, penalaran
moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa
orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia
tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap
menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Proses perkembangan
SKEMA.
Seorang individu dalam
hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut,
seseorang akan memperolehskema.
Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan
memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun
fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam
pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan
pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan,
informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau
mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin
memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila
pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak
kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan
mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan
perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk
memasukkan jenis burung yang baru ini.
EQUILIBRATION
Proses asimilasi dan
akomodasi perlu untuk perkembangan
kognitif seseorang. Dalam perkembangan
intelek seseorang diperlukan keseimbangan
antara asimilasi dengan akomodasi. Proses ini disebut equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur
keseimbangan proses asimilasi dan
akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari disequilibrium ke equilibrium.
Proses tersebut berjalan terus dalam diri individu melalui asimilasi
dan akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat
menyatukan pengalaman luar dengan
struktur dalamnya (skema). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang terpacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau
akomodasi.
Proses
ekuilibrasi menunjuan adanya peningkatan ke arah bentuk-bentuk pemikiran yang
lebih komplek. Menurut Piaget melalui kedua penyesuaian (asimilasi dan
akomodasi sistem kognisi seseorang berkembang dari satu tahap ke tahap
selanjutnya, sehingga kadang-kadang mencapai equilibrium, yakni keadaan
seimbang antara dtruktur kognisinya dan pengalamannya di lingkungan. Sebagai
anak-anak yang sedang tumbuh kadang-kadang mereka berhadapan dengan situasi
yang tidak dapat menjelaskan secara memuaskan tentang dunia daam terminology
yang dipahaminya saat ini. Kondisi demikian menimbulkan konflik kognitif atau
disequilibrium, yakni semacam ketidaknyamanan mental yang mendorongya untuk
mencoba membuat pemahaman tentang apa yanag mereka saksikan. Dengan melakukan penggantian,
mengorganisasi kembali atau mengintegrasikan secara baik skema-akema mereka
(dalam kata-kata lain, melalui akomodasi), anak-anak akhirnya mampu memecahkan
konflik, mampu memahami kejadian-kejadian yanag sebelumnya membingungkan, serta
kembali mendapatkan keseimbangan pemikiran. Pergerakan dari equilibrium ked
isequilibrium dan kemudian kembali lagi menjadi equilibrium atau proses yanag
meningkatkan perkembangan pemikiran dan pengetahuan anak dari suatu tahap
ke tahap yang lebih kompleks inilah yang disebut Piaget dengan
istilah equilibration (ekuilibrasi)
ASIMILASI
adalah proses menambahkan
informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif,
karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang
diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam
contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung"
adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak.
AKOMODASI
adalah bentuk penyesuaian
lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi
baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula
terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat
burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label
"burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung
si anak. Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang
berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di
atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin
mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan
seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan.
Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai
dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas.Dengan demikian, kognisi
seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif
tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.
TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON
08.14
No comments
TEORI PERKEMBANGAN
PSIKOSOSIAL ERIK ERIKSON
PSIKOSOSIAL ERIK
ERIKSON
“Man the un-known” (manusia adalah makhluk yang misteri) demikian di ungkapkan oleh
Alexis Carel ketika menggambarkan ketidaktuntasan pencarian hakikat manusia
oleh para ahli. Banyak ikhtiar akademis yang dilakukan oleh para ahli saat
ingin memapar siapa sesungguhnya dirinya. Ilmu-ilmu seperti filsafat, ekonomi,
sosiologi, antropologi juga psikologi dan beberapa ilmu lainnya adalah ilmu
yang membahas tentang manusia dengan perspektif masing-masing.
Erik Erikson adalah salah satu diantara para ahli yang melakukan
ikhtiar itu. Dari perspektif psikologi, ia menguraikan manusia dari sudut
perkembangannya sejak dari masa 0 tahun hingga usia lanjut. Erikson beraliran
psikoanalisa dan pengembang teori Freud. Kelebihan yang dapat kita temukan dari
Erikson adalah bahwa ia mengurai seluruh siklus hidup manusia, tidak seperti
Freud yang hanya sampai pada masa remaja. Termasuk disini adalah bahwa Erikson
memasukkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan tahapan manusia,
tidak hanya sekedar faktor libidinal sexual.
A. Tentang Erik
Erikson (1902-1994)
Erik Erikson lahir di Franfrurt Jerman, pada tanggal 15 Juni
1902 adalah ahli analisa jiwa dari Amerika, yang membuat kontribusi-kontribusi
utama dalam pekerjaannya di bidang psikologi pada pengembangan anak dan pada
krisis identitas. Ayahnya (Danish) telah meninggal dunia sebelum ia lahir.
Hingga akhirnya saat remaja, ibunya (yang seorang Yahudi) menikah lagi dengan
psikiater yang bernama Dr. Theodor Homberger.
Erikson kecil bukanlah siswa pandai, karena ia adalah seorang
yang tidak menyenangii atmosfer sekolah yang formal. Ia oleh orang tua dan
teman-temannya dikenal sebagai seorang pengembara hingga ia pun tidak sempat
menyelesaikan program diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa negara dan
perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya seorang ilmuwan
sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama ia berjumpa dengan ahli analisa
jiwa dari Austria yaitu Anna Freud. Dengan dorongannya, ia mulai mempelajari
ilmu tersebut di Vienna Psychoanalytic Institute, kemudian ia mengkhususkan
diri dalam psikoanalisa anak. Terakhir pada tahun 1960 ia dianugerahi
gelar profesor dari Universitas Harvard.
Setelah menghabiskan waktu dalam perjalanan
panjangnya di Eropa Pada tahun 1933 ia kemudian berpindah ke USA dan kemudian
ditawari untuk mengajar di Harvad Medical School. Selain itu ia memiliki pratek
mandiri tentang psiko analisis anak. Terakhir, ia menjadi pengajar pada
Universitas California di Berkeley, Yale, San Francisco Psychoanalytic
Institute, Austen Riggs Center, dan Center for Advanced Studies of Behavioral
Sciences.
Selama periode ini Erikson menjadi tertarik
akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap perkembangan anak. Ia belajar dari
kelompok anak-anak Amerika asli untuk membantu merumuskan teori-teorinya.
Berdasarkan studinya ini, membuka peluang baginya untuk menghubungkan
pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan orangtua dan nilai
kemasyarakatan.
Keinginannya untuk meneliti perkembangan
hidup manusia berdasarkan pada pengalamannya ketika di sekolah. Saat itu
anak-anak lain menyebutnya Nordic karena ia tinggi, pirang,
dan bermata biru. Di sekolah grammar ia ditolak karena berlatar belakang
Yahudi.
Buku pertamanya adalah Childhood
dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku klasik di dalam
bidang ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak muda, Erikson
mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu konflik yang
tak bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain yaitu: Young Man Luther (1958), Insight
and Responsibility (1964), Identity (1968), Gandhi's
Truth(1969): yang menang pada Pulitzer Prize and a National Book Award
dan Vital Involvement in Old Age (1986).
B. Tahap
Perkembangan Hidup Manusia
Apakah perkembangan
psikososial itu?
Teori Erik Erikson tentang perkembangan manusia dikenal dengan
teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah
salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud,
Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah
satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan
persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang
kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego
selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan
dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan
memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif,
inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan
psikososial.
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep
polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8 (delapan) tingkatan perkembangan
yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah
gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia tidak tuntas pada
tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan dengan
kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik,
orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik,
orang itu akan tampil dengan perasaan tidak selaras.
Dalam setiap tingkat, Erikson percaya
setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam
perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada
perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas
itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan
potensi kegagalan.
Tahap
1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
· Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
· Tingkat pertama teori perkembangan
psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan
merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
· Oleh karena bayi sangat bergantung,
perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari
pengasuh kepada anak.
· Jika anak berhasil membangun kepercayaan,
dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten,
tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak
percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan
akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan
tidak dapat di tebak.
Tahap
2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
· Terjadi
pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
· Tingkat ke dua dari teori perkembangan
psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada
perkembangan besar dari pengendalian diri.
· Seperti Freud, Erikson percaya bahwa
latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini.
Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar
untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan
mengendalikan dan kemandirian.
· Kejadian-kejadian penting lain meliputi
pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang
disukai, dan juga pemilihan pakaian.
· Anak yang berhasil melewati tingkat ini
akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa
tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative)
vs rasa bersalah (Guilt)
· Terjadi
pada usia 3 s/d 5 tahun.
· Selama
masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia
melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka
lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut
perilaku aktif dan bertujuan.
· Anak
yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang
lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
· Mereka
yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan
ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang
tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan
dibuat merasa sangat cemas.
· Erikson
yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa
berhasil.
Tahap
4. Industry vs inferiority (tekun
vs rasa rendah diri)
· Terjadi
pada usia 6 s/d pubertas.
· Melalui
interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
keberhasilan dan kemampuan mereka.
· Anak
yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten
dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
· Anak
yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru,
atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
· Prakarsa yang
dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat
dengan pengalaman-pengalaman baru.
· Ketika
beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak,
mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual.
· Permasalahan
yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa
rendah diri,perasaan tidak
berkompeten dan tidak produktif.
· Erikson
yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan
anak-anak.
Tahap
5. Identity vs identify confusion (identitas
vs kebingungan identitas)
· Terjadi
pada masa remaja, yakni
usia 10 s/d 20
tahun
· Selama
remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
· Anak dihadapkan
dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka
menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
· Anak
dihadapkan memiliki banyak
peran baru dan status sebagai orang
dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya,
orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu
peran khusus.
· Jika
remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif
untuk diikuti dalam
kehidupan, identitas positif akan dicapai.
· Jika
suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua,
jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan
positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
· Namun
bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan
diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
· Bagi
mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul
rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap
6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
· Terjadi
selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
· Erikson
percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat
dan siap berkomitmen dengan orang lain.
· Mereka
yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
· Erikson
percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan
yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit
kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu
hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
· Jika
mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam
interaksi dengan orang.
Tahap
7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
· Terjadi
selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
· Selama
masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan
keluarga.
· Mereka
yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi
terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
· Mereka
yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di
dunia ini.
Tahap
8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
· Terjadi
selama masa akhir dewasa (60an tahun)
· Selama
fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
· Mereka
yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan
mengalami banyak penyesalan.
· Individu
akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
· Mereka
yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan
dan kegagalan yang pernah dialami.
· Individu
ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
Langganan:
Postingan (Atom)